Jumat, 12 November 2010

Pentingnya Ingatan Kolektif

Maria Hartiningsih
Seluruh jejak seakan lenyap begitu Mardiyem berpulang tanggal 21 Desember 2007, menyusul Suhanah yang berpulang 17 April 2006. Perayaan kemerdekaan Republik Indonesia tak pernah mengenang, apalagi menyebut mereka sebagai bagian sejarah resmi di negeri ini.

Sejarah nasional yang ‘agung’ telah menegasikan pengalaman kelam perempuan selama masa penjajahan Jepang. Sikap ini terbaca ketika Pemerintah memutuskan menggunakan ‘dana kompensasi’ -- yang bisa dibilang tidak memadai dibandingkan penderitaan yang harus ditanggung jugun ianfu -- sebesar 380 juta yen pada tahun 1997, bertahap selama 10 tahun dari Asian Women’s Fund (AWF). Pemerintah Indonesia menggunakan dana itu untuk keperluan kaum lansia di panti jompo. Aliran dana tidak dikelola transparan.Sikap itu dapat dibaca sebagai penerimaan separuh hati atas fakta bahwa jugun ianfu adalah korban perbudakan seksual pada masa perang. Alih-alih membela hak-hak korban yang mengalami pelanggaran HAM berat pada masa perang, sikap Pemerintah Indonesia menyiratkan pandangan bahwa peristiwa itu sebagai ’aib bangsa’ sehingga tak perlu dibuka lagi.

Sampai akhir hidupnya, Mardiyem dan Suhana terpenjara dalam kemiskinan, stigma dan penghakiman moral. Namun Mardiyem tampaknya ingin permintaan maaf resmi dilakukan  sebelum "uang kerahiman". Prinsip itu ia pegang karena menyangkut martabat diri.

Betapa pun, sejarah mencatat nama mereka, mewakili 1156 penyintas asal Indonesia, bersaksi dalam Pengadilan Internasional Kejahatan dalam Perang untuk Kasus Perbudakan Seksual oleh Militer Jepang Selama Perang Dunia II, atau The Tokyo Tribunal, tanggal 8 – 12 Desember 2000.

Pengadilan yang melibatkan hakim dan penuntut dalam Pengadilan Internasional dalam kasus Perang di Rwanda dan bekas negara Yugoslavia serta saksi ahli dan penasihat hukum terkemuka dunia itu adalah jawaban atas kegagalan negara menegakkan keadilan bagi sekitar 200.000 perempuan Asia yang dipaksa menjadi jugun ianfu atau comfort women untuk  serdadu Jepang selama Perang Dunia II.

Dalam keputusan final di Den Haag, Belanda, 3-4 Desember 2001, Kaisar Akihito, Kaisar Showa, Kepala Negara, dan Komando Tertinggi Angkatan Bersenjata Kerajaan Jepang tahun 1937-1945 dinyatakan bersalah. Pun sejumlah perwira tinggi Jepang yang memimpin ekspedisi perang di wilayah Asia.

Pemerintah Jepang selama 50 tahun menolak tanggung jawab hukum karena berpendapat sistem comfort women bukan perbudakan. Pemerintah Jepang juga menyatakan soal comfort women telah diselesaikan melalui perjanjian-perjanjian perdamaian dan reparasi pasca-perang.

Pada tanggal 21 Maret 1997 Perdana Menteri Ryutaro Hashimoto mengirim surat permintaan maaf kepada bangsa Indonesia melalui Presiden Soeharto. Surat itu berisi "permintaan maaf dan penyesalan yang dalam", tetapi tidak mengacu kepada agresi perang dan dominasi penjajah. Namun surat itu tidak menyinggung tentang "tanggung jawab moral Pemerintah Jepang". Sebaliknya, kalimat "dalam kerja sama dengan Pemerintah Jepang" muncul berulang kali.
  
Tak Boleh Dihapus

Mardiyem dan Suhana sudah tiada, namun sejarah jugun ianfu tak boleh dihapus dari perjalanan sejarah bangsa ini. Sejarah itu telah menguakkan  peristiwa kekerasan dan perbudakan seksual terhadap perempuan dalam perang, konflik bersenjata dan kerusuhan,  yang pola-polanya akan terus berulang, kalau tidak dipahami akar masalahnya.; yaitu militerisme.

Bagi feminis, kekerasan seksual, pemerkosaan dan perbudakan seksual, adalah soal kekuasaan. Lebih dari sekadar kriminalitas, pemerkosaan harus diusut sebagai peristiwa politik. Pada pemerkosaan, si pelaku melihat korban sebagai mangsa yang tidak akan melawan; sesuatu yang berbeda dengan peristiwa kriminal biasa. Penggunaan pemerkosaan dalam konflik bersenjata mencerminkan wataknya sebagai teror khusus untuk menundukkan, dan seksualitas adalah simbol keberlanjutan suatu bangsa atau etnis.

Pola-pola itu sejatinya terus terulang. Setelah pola kekerasan seksual terkait konflik politik tahun 1965, pola serupa terjadi pada perempuan di  Aceh, Papua dan Timor Timur (saat itu) menjadi ketika wilayah itu ditetapkan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) pada masa Orde Baru. Pola kekerasan seksual bahkan berulang di ibukota negara, Jakarta, dan kota besar lain di Indonesia terkait kerusuhan Mei 1998 dan di berbagai daerah konflik setelah tahun 1998, seperti Ambon, Maluku dan Poso.

Oleh karena itu, menandai 10 tahun Komnas Perempuan, diterbitkan laporan Kita Bersikap: Empat Dasawarsa Kekerasan terhyadap perempuan dalam Perjalanan Berbangsa, dan memulai gerakan ’Mari Bicara Kebenaran’. Pameran foto mengenai Jugun Ianfu di Jakarta, tanggal 16 Agustus 2010, adalah bagian dari kegiatan itu.

Buku itu menguakkan sejarah perempuan sebagai bagian sejarah yang seharusnya dipahami oleh semua orang, agar pola-pola kekerasan dan perbudakan seksual itu tak terulang, baik terhadap bangsa sendiri mau pun bangsa lain.
  
Di Sekolah

Sikap masyarakat Jepang, termasuk pers, terhadap Tokyo Tribunal tahun 2000 memang terbelah. Di dalam negeri, kelompok ultranasionalis dan politisi sayap kanan di Jepang terus berupaya menafikan upaya penghapusan impunitas itu dengan menggunakan sentimen nasionalisme. Upaya mengoreksi buku sejarah Jepang juga mengalami hambatan.

Di sisi lain, kelompok kritis yang mendesak Pemerintah Jepang untuk mengakui kejahatannya semasa perang, juga menguat. PM Jepang Sinzho Abe menolak eksploitasi seksual itu dilakukan secara sistematis oleh tentara Jepang semasa perang. Pernyataan itu menyulut kemarahan di Korea Utara dan Selatan, Filipina, China, Taiwan, dan Indonesia.

Pada hari berikutnya, dia mengatakan akan mempertahankan permintaan maaf pemerintahnya karena memaksa perempuan Asia menjadi budak seks bagi militer Jepang selama Perang Dunia II. Sampai hari ini usaha setiap kontroversi selalu ditanggapi oleh pihak yang berkuasa dengan dengan upaya-upaya menutup kebenaran melalui berbagai cara. Semua itu cukup untuk memperlihatkan kecenderungan sikap politik di Jepang.

Di Indonesia, situasinya tak lebih baik. Para pemegang kekuasaan dan politisi bahkan tak lagi menengok persoalan ini dianggap sebagai ’masa lalu’.  Sejarah jugun ianfu tak pernah masuk ke dalam kurikulum, kecuali hanya disebut secara sepintas. Namun, meski belum banyak jumlahnya, beberapa guru yang kritis berusaha memasukkan sejarah jugun ianfu dalam koridor pengajarannya. Seperti dilakukan Sahala Manullang, Pengajar SMU Dian Harapan, Jakarta, yang mengampu ekstra kurikuler kurikulum debat, sehingga ia punya kewenangan untuk menganjurkan murid-muridnya banyak membaca.

Ia  juga menganjurkan murid-muridnya membaca buku-buku sastra terkait dengan sejarah kelam perempuan di Indonesia, seperti karya Pramudya Ananta Toer, Anak Perawan di Sarang Penyamun untuk isu jugun ianfu dan Putri Cina karya Sindunata, terkait dengan pemerkosaan perempuan etnis Tionghoa tahun 1998. 

Memang, sejak pertengahan tahun 1980-an, media dan jaringan alternatif khusus untuk perempuan semakin berkembang dan dimanfaatkan secara efektif oleh organisasi-organisasi nonpemerintah yang bekerja secara khusus untuk pemberdayaan perempuan, untuk memperbaiki kesadaran sosial-politik perempuan dan anggota masyarakat pada umumnya.  Ini artinya, ada upaya-upaya yang keras untuk mengikis berbagai praktek yang menindas perempuan. Namun media arus utama hanya sedikit bergerak.

Bagaimana dengan Pers?


Ilmu komukasi massa, termasuk jurnalistik, sebagaimana ilmu-ilmu lain, sebenarnya bersifat netral. Ruang-ruang publik sebenarnya juga bersifat terbuka, bisa diambil oleh siapa siapa saja. Sayangnya, hampir sepanjang sejarah manusia modern,  ruang publik diambil dan  didominasi oleh kekuasaan yang bersifat patriarkhis, dengan berbagai pemikiran yang menganggap bahwa hanya laki-laki lah yang berhak atas ruang publik itu. (Pateman, 1989).

Dengan demikian, maka perempuan dinegasikan, dan pengalamannya didefinisikan oleh pihak lain. Tubuhnya, secara simbolik dijadikan barang dagangan dan barang agunan untuk mendapat bantuan dari luar negeri. Dalam kasus jugun ianfu, awalnya kasus ini dianggap selesai dengan pampasan perang Jepang. Kemudian ditambah dengan dana AWF. 

Secara hampir pasti, kekuasaan yang bersifat patriarkhis itu lah yang mendominasi wacana yang kemudian disebarkan melalui di ruang publik. Padahal media massa sangat berpengaruh terhadap pembentukan realitas sosial. Komunikasi massa selalu mempunyai dampak pada diri seseorang atau sekelompok orang sebagai akibat dari pesan yang disampaikan.

Media massa, seperti dikemukakan ahli komunikasi Marvin De Fleur, tidak hanya  memiliki dampak langsung terhadap individu, tetapi juga mempengaruhi kebudayaan dan pengetahuan kolektif serta nilai-nilai di dalam masyarakat. Media massa menghadirkan seperangkat citra, gagasan dan  evaluasi yang menjadi sumber bagi audience nya untuk memilih dan  menjadikannya acuan bagi perilakunya.

Fungsi dasar media massa adalah memberi informasi, pendidikan, komentar atau interpretasi yang membantu pemahaman terhadap makna penggalan informasi, juga pembentukan kesepakatan, ekspresi nilai-nilai dan simbol-simbol budaya yang diperlukan untuk melestarikan identitas  dalam masyarakat. Terdapat pula fungsi hiburan dan fungsi  mobilisasi. Namun juga dikatakan, di mana pun, media diharapkan ikut mengembangkan kepentingan nasional dan menunjang nilai-nilai utama serta pola-pola perilaku tertentu.

Ahli komunikasi Everett M. Rogers menambahkan, media massa memberi kesempatan kepada masyarakat untuk mengambil bagian secara aktif dalam proses pengambilan keputusan mengenai perubahan, memperluas dialog agar melibatkan semua pihak yang akan membuat keputusan mengenai  perubahan, memberi kesempatan kepada para pemimpin masyarakat untuk memimpin dan mendengarkan pendapat rakyat kecil serta menciptakan arus informasi yang berjalan lancar dari bawah ke atas.
         
Bukan Benda Mati

Akan tetapi, sekali lagi, media massa bukanlah benda mati. Ia hidup dan dihidupkan oleh orang-orang yang mengisinya. Ruang-ruang di dalam media massa adalah ruang kompetisi pemaknaan dalam suatu sistem keredaksian yang sangat birokratis. Dengan demikian, media massa tidak hanya mengusung fungsi sebagai kontrol sosial, tetapi juga memiliki fungsi-fungsi lainnya, yang  harus berkompetisi satu sama lainnya. 

Beberapa teori komunikasi menyebutkan peran penulis sebagai komunikator, dan media massa hanyalah sebagai medium, penyampai pesan. Di belakang benak penulis dan wartawan, terdapat berbagai ideologi yang saling berkompetisi. Tanpa perspektif perpektif hak asasi manusia korban, besar kemungkinan, wartawan menjadi alat pembiaran karena tak mampu mendudukkan soal. Mereka akan tergulung pada pandangan mainstream yang memandang bahwa kasus jugun ianfu adalah ’aib’.

Dalam hal ini, ’sejarah-sejarah kecil’, sejarah korban, khususnya perempuan, harus muncul dan terus dimunculkan, untuk menghadapi narasi besar dalam ’Sejarah Nasional’ yang menegasikannya. Ini adalah tugas semua pihak, bukan hanya pers, meski peran pers sangat penting.

Khusus untuk kasus jugun ianfu, terkait pemberantasan korupsi sedang menjadi ’primadona’ berita saat ini, maka investigasi terhadap penggunaan dana AWF menjadi sangat penting. Ini adalah entry point untuk membuat wacana jugun ianfu kembali menjadi perhatian.

-------------------------------------------------------------------------------
*) Maria Hartiningsih, Wartawan Kompas.
Paper ini disampaikan dalam Seminar sehari 65 Tahun Kapitulasi Jepang dalam Perang Asia-Pasifik, di Jakarta, tanggal 25 Oktober 2010.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar