Jumat, 12 November 2010

Romusha Era Modern: Mewaspadai Kembali Munculnya Militerisme Bangsa Jepang (Asing)

Jaka Perbawa
Catatan Redaksi: Sejatinya tulisan ini merupakan makalah sumbangan yang disampaikan oleh Jaka Perbawa dalam kapasitasnya sebagai staf Museum Perumusan Naskah Proklamasi mewakili direktur  museum yang berhalangan hadir. Berikut adalah beberapa poin penting berkaitan dengan tema seminar bertema Jugun Ianfu, Romusha dan Sejarah Kelam Militerisme Jepang. Selamat Membaca dan tetap berpikir merdeka.

Sejarah kelam masa pendudukan militer Jepang tidak akan mudah dihapus dari ingatan bangsa Indonesia. Kebijakan kerja paksa atau romusha serta pengerahan wanita-wanita Indonesia untuk dijadikan jugun ianfu benar-benar telah menyakiti bangsa Indonesia hingga kini. Kita harus mewaspadai munculnya kembali militerisme Jepang.Keunikan Jepang dalam melaksanakan operasi intelejen, memang berbeda dengan kebanyakan dengan negara-negara lain pada masa awal abad 20. Pergerakan intelejen jepang ke Asia Tenggara sudah dirancang sedemikian rupa jauh-jauh hari. Sebelum datang ke Indonesia pada 1942 Jepang telah mempelajari geopolitik wilayah Asia Pasifik sejak awal abad 20.

Strategi perdagangan merupakan prioritas Jepang untuk memata-matai wilayah Asia Tenggara, sehingga Jepang mampu menancapkan kukunya di wilayah Asia Tenggara melalui pemasaran produk-produk Jepang dengan harga murah. Inilah imperialisme Jepang beserta praktek-praktek intelejennya yang berupaya untuk menguasai wilayah Asia Pasifik, Asia Tenggara dan terutama Indonesia.

Berkaitan dengan kejahatan perang Jepang, praktek romusha dan jugun ianfu memang telah melanggar hak asasi manusia. Inilah sebuah sejarah kelam mengenai kejahatan kemanusiaan yang pernah menimpa bangsa Indonesia.

Mencermati kondisi kekinian, kita sebagai bangsa Indonesia harus mempelajari pola-pola kebangkitan Jepang di ranah Internasional. Industrialisasi yang dikembangkan Jepang pasca Perang Dunia II, seharusnya telah dipelajari oleh segenap elemen bangsa ini, bukan hanya pemerintahan yang berkuasa, namun juga seluruh rakyat Indonesia.

Pola-pola gerakan yang mengatasnamakan hubungan diplomatik dengan misi-misi yang diembannya seperti kerjasama perdagangan dan kebudayaan, sudah selayaknya lah diwaspadai sebagai upaya penjajahan gaya baru atau yang sekarang akrab di telinga dengan nama neoliberalisme.

Cara-cara halus hampir tidak kita sadari, lewat tenaga-tenaga ahli dari Jepang yang bekerja di Indonesia, investor yang mencari celah untuk menanamkan modalnya di Indonesia, ternyata oleh kita dianggap bukan sesuatu yang berbahaya. Bahkan jalur bea siswa untuk para ilmuwan dan para mahasiswa Indonesia, tanpa curiga sedikit pun bahwa hasil-hasil pemikiran mereka yang asli dari Indonesia ternyata kemudian dicuri dan dikaji lebih mendalam oleh ilmuwan-ilmuwan Jepang.

Lalu apa yang sekarang berlaku terkait dengan romusha era modern di Indonesia? Romusha era modern ini, perusahaan-perusahaan asing dan Jepang termasuk di dalamnya, kelak mempekerjakan pekerja-pekerja dari Indonesia dengan posisi berada di lapisan menengah ke bawah dari segi jabatan, karena tenaga ahli dan yang berada di posisi strategis diambil langsung dari negara asalnya, alhasil tenaga-tenaga asli Indonesia dipekerjakan dengan bayaran murah, jam-jam kerja yang menyiksa, jaminan sosial yang tidak terpenuhi, seperti hak cuti dan pemaksaan kehendak tanpa memperdulikan tradisi, budaya dan pranata sosial yang ada di Indonesia. Sebagai contoh meskipun Indonesia merayakan hari raya, namun tetap saja diwajibkan masuk kerja. Bukankah hal tersebut sama dengan romusha di masa lalu?

Kembali muncul pertanyaan, kenapa hal tersebut bisa terjadi? Apakah pemerintahan Indonesia tidak sadar hal itu? Atau jangan-jangan apa yang terjadi di masa silam, ada agen-agen asing di dalam pemerintahan kita. Proses pembiaran terhadap sistem kerja outsourching yang berlaku saat ini, bukankah itu atas restu dari pemerintahan juga? Antek-antek neoliberlisme.

Tahapan-tahapan dari apa yang pernah dilakukan oleh Jepang di masa lalu, dewasa ini perlu menjadi perhatian kita. Jika dikaitkan dengan aspek-aspek kebijakan Jepang terhadap angkatan perangnya, maka perlulah kiranya kita mencermati hal tersebut dan faktor-faktor yang mendorong terjadinya gerakan-gerakan Jepang terhadap angkatan perangnya. Kemunculan China sebagai pesaing dalam dunia perdagangan termasuk di Indonesia ternyata telah menimbulkan kekhawatiran Jepang beserta sekutunya Amerika Serikat.

Lalu apakah kita hanya berdiam diri saja melihat kenyataan ini? Apakah kita hanya menjadi penonton atas unjuk kekuatan kedua kutub tersebut? Seminar ini yang bertujuan untuk meredam pengaruh Jepang dengan membongkar dosa sejarahnya, patut di sambut baik. Namun apakah dengan mencoba melemahkan pihak Jepang agar tidak melebarkan pengaruh militernya, malah akan berdampak munculnya kekuatan lain yang sebenarnya ingin menguasai Indonesia juga?

Perlu pembahasan lebih lanjut untuk memetakan kembali posisi Indonesia di percaturan dunia. pemerintah Indonesia dalam hal ini sudah melakukan keputusan yang tepat, dengan tidak mengizinkan adanya pangkalan militer asing di wilayah nusantara. Namun apakah hal tersebut sudah cukup untuk meredam atau bahkan mengenyahkan pengaruh asing di Indonesia.
 
Penulis: Jaka Perbawa - Staf Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar