Jumat, 12 November 2010

Pagupon Omahe Doro-Sepenggal Kisah dari Desa Jepun, Tulung Agung, 1942 – 1945

Jokosaw Koentono
Jepang  tidak  sendiri. Tahun-tahun itu, 1942 – 1945, adalah waktu puncak ‘iklim perkelaian’ negara-negara industri,  di seluruh dunia.  Ingin turut berperan dalam perebutan sumber-sumber alam di Asia, Jepang  menantang  tiga  Jagoan kolialisme sekaligus : Belanda, Inggris dan Amerika. Agak nekat. Tapi itulah pilihan Hiroshi Imamura, Letnan Jenderal, yang menentukan Agresi Militer ke seluruh Asia dengan terlebih dulu menyerang basis pertahanan Amerika, di  Pearl Harbor, Hawaii. Semboyan yang di kumandangkan adalah : ‘Maju mengambil kesempatan besar atau tidak sama sekali!’

Tidak tangung-tanggung, untuk perang Badar ini, Jepang mengerahkan puluhan kapal induk, puluhan kapal perang, ratusan kapal penjelajah berat, lebih dari 50 kapal penjelajah ringan, puluhan kapal pengangkut perlengkapan, ratusan kapal perusak, puluhan kapal selam, ribuan  pesawat  tempur, ribuan tank baja dan amphibi serta ratusan ribu serdadu berani mati.Isu tentang dipersiapkan 250.000 pasukan Jepang untuk menguasai Bandung, Pengerahan Romusha dengan jumlah mengagumkan : mencapai ratusan ribu Romusha yang dihimpun dari Jawa, Malaysia (termasuk Cina, India dan Melayu) Philipina dan Burma, angka-angka semua ini mengimpresikan pandangan dunia bahwa Jepang,  tidak main-main dalam niatan untuk mengibarkan HINOMARU di seluruh penjuru  Asia. Yang pada gilirannya yang tepat, diniati akan dikibarkan di seluruh dunia.

***

Saya belum lahir ketika itu. Baru, 15 – 25  tahun setelah Indonesia merdeka, tepatnya pada usia sekolah TK (Taman Kanak-Kanak), antara 1960- 1970, lamat-lamat, aku mulai mengenal kata Jepang dan NIPPON. Terutama dari ‘perang-perangan’ (mainan anak-anak), karnaval desa, patung Tentara PETA dan cerita bapak + ibu serta nenek – buyut.

Kata mereka, nenek – buyut (di Tulung Agung), Jepang lebih garang dan menyengsarakan rakyat dibanding Belanda. Selama pendudukan Jepang, kekayaan penduduk dirampas. Setiap sirine bahaya udara dibunyikan, penduduk desa berhamburan menuju bungker-bungker persembunyian. Dan kala itu, konon, emas-emas diambil paksa.  Juga barang berharga lainnya.

Pada waktu berbeda, beras yang baru dipanen serta hasil palawija harus diserahkan kepada perwakilan-perwakilan Jepang yang ada di desa. Penduduk hanya kebagian persediaan makan tidak seberapa.  Penduduk lainnya diwajibkan menyerahkan telor ayam dan hasil ternak mereka.

Suplai sandang dan pangan hanya berpusat di kota. Penduduk miskin desa terpaksa mengenakan celana / pakaian dari bahan karung (bago). Keluarga nenek – moyangku di desa, bukan tergolong petani kaya. Tapi cukup disegani sebagai keluarga dari kalangan ‘wong pinter’ (mengerti).

Tidak aneh kalau satu dari keluargaku masuk KNIL. Dan Ayah, mendaftar PETA (di Blitar, lalu di pindah ke Tulung Agung) untuk alasaan-alasan praktis. Tidak ada cerita penting lainnya yang bisa aku catat di sini kecuali selama di PETA, Pak Sakoen, yang dikenal memiliki ‘keahlian khusus’, sempat berkenalan dengan Sudanco Soepriadi, atasannya. Juga mengenal bagaimana memasak ikan gurami yang dimasak dengan cuka, seperti yang menjadi kesukaan para prajurit Jepang. Sebagai anggota PETA, Sakoen muda diwajibkan menyanyi KIMI GA YO, menghormat kepada HINOMARU, senam TAISO, menguasai KATANA dan wajib bermain KENDO.  Semua kebiasaan dan kebisaan itu pernah coba ia tularkan kepada aku.

Di lingkungan keluarga Ayah (sebetulnya orangtua angkat/sepupu nenek dari sisi Ibu) yang umumnya adalah petani dan memiliki kesejarahan sebagai pemain LEROK (Rombongan Barangan/Pengamen), cerita kewiraan seperti yang dialamai Ayah, itu dianggap kurang menarik. Mereka lebih gemar membanggakan ponakan dan cucu-cucu mereka yang saat itu mulai bisa sekolah di SR (Sekolah Rakyat) dan maraknya pembangunan irigasi  untuk memajukan pertanian.  Pada jaman penjajahan Jepang, para bumi putera mendapat kesempatan pendidikan secara merata. Di sisi lain, ini merupakan langkah awal dari strategi ‘Jepangisasi’. Bagimana tidak, melalui pendidikan formal itu, sejak SR (Sekolah Rakyat), anak-anak usia sekolah ditanamkan adat istiadat Jepang. Menyanyikan lagu kebangsaan, menghormat bendera dan melatih disiplin diri seperti layaknya orang Jepang. Pertanian padi meningkat sejak jaman Jepang yang, kemudian, mengubah perilaku makan kita, dari semula mengonsumsi makanan pokok berbahan Jangung dan Ketela, kemudian, bergeser mengonsumsi Nasi. Pertanian kita dimobilisasi sedemikian rupa untuk ditempatkan sebagai salah satu lumbung padi Jepang yang potensial di Asia.

Jepun

Di lingkungan keluargaku, Desa yang selalu menjadi sumber cerita menarik selama pendudukan Jepang, adalah Jepun (berarti Jepang). Berada di pinggiran kota Tulung Agung menuju arah Jothangan, Sumber Gempol, Ngunut, Rejo Tangan, terus ke  Blitar. Di sebut Jepun, kuat dugaan, karena di tempat ini terdapat markas tentara Jepang.  Kala sore, konon, perempuan-perempuan Jepang bepergian dari rumah menuju kota atau sekedar belanja dan mencari udara segar di sekitar rumah/ markas. Interaksi budaya, sedikit banyak terjadi. Dari desa ini, payung kertas mulai dikenal dan dibuat oleh masyarakat.

Demikian juga keset (dari ijuk dan serabut kelapa), bakiak (kelompen Jepang), terompah, kipas, layang bapang, dan batik motif Kembang Jepun. Tidak jauh dari pojok kota ini, bahkan sampai tahun 70-an, di wilayah sama terdapat tempat hiburan dan komplek pelacuran. Jepun, tak pelak, ketika waktu-waktu tertentu, menjilma menjadi pasar dadakan yang ramai. Penuh lalu lalang dan bahkan parodi kemanusiaan.

Kakekku, bernama Dono Legowo, atau keluarga dekat kami memanggil  beliau dengan sebutan  Mbah Dono, sangat pandai menembang dan memainkan berbagai alat musik Jawa. Terutama rebab dan seruling. Dalam waktu yang teratur, begitu penuturan berliau, Si Mbah, diundang Komandan Jepang ke markas Jepang di Jepun untuk meniup seruling. Barangkali, ada persamaan harmoni, meskipun sangat jauh, antara suara seruling Jawa dan Jepang. Acara itu hanya selingan dari pesta dan acara hiburan, Yang puncaknya, ini entah keindahan atau justru kemirisan, beberapa perempuan Jawa dipersiapkan menjadi budak nafsu. Ada yang berjeritan karena baru memulai kegiatannya secara terpaksa. Sebagian yang lain berjeritan karena suka ria.

Hubungan Mbah Dono dengan tentara  Jepang, tentu saja,  tidak lebih dari hubungan antara si penjajah dan yang dijajah . Mbah Dono, seperti penuturannya, menyimpan banyak geram menyaksikan sendiri bagaimana keris-keris terbaik milik rakyat dirampas dan dikumpulkan di salah satu ruang di rumah si Komandan. Begitu juga kain-kain batik, wayang kulit,  hiasan kepala menjangan dan banteng, bertumpuk di rumah si Komandan. Pengrajin klompen atau bakiak, ikat pinggang dan pembuat anyaman, umumnya, disuruh membuat karya terbaik lalu, kemudian, diminta menyerahkan karya mereka kepada tentara Jepang.

Dua kali, dalam masa prendudukan Jepang, setelah itu,  Mbah Dono  ditahan dan ditato pada lengan kiri dan kananya dengan ‘cap’ sebagai si Begal atau perampok. Naklum, menurut kabar beritanya, Kakekku dilirik terlalu banyak gundik Jepang. Desa Jepun pun semakin menjadi setting cerita yang memikat.

Pernah, di suatu hari, Mbah Dono disiksa dengan dipukul popor senapan, diinjak jempol kakinya dengan menginjakkan kaki meja di atasnya, bahkan diminta menatap matahari langsung selama beberapa saat. Toh, beliau tidak mengaku kalau anaknya, Sakoen Koentono, ayahku, masuk PETA dan bergabung dalam batalion mana. Blitar, Tulung Agung, atau Kediri? Apalagi diminta memberi tahu tempat dimana Soepriadi gemar bersemadi?

Jepun, pada masa-masa pra kemerdekaan, menjadi tempat strategis untuk melakukan politik sabotase (gerilya) terhadap Jepang (konon ini berlaku juga ketika Agresi I dan II).  Kepada setiap penduduk Kabupaten Tulung Agung bagian timur yang berani memasok logistik ke kota dirasia oleh jaringan pemuda dan tentara rakyat, termasuk ayahku. Untuk memberi efek jera, beberapa di atara penduduk desa disuruh makan paksa telor ayam mentah berikut kulitnya. Taruhannya, Pak Sakoen dan kelompoknya dimusuhi oleh masyarakat dan bahkan keluarga yang sudah mulai nyaman dengan efek ekonomi yang timbul selama pendudukan Jepang.

Dalam kondisi serba terjepit, manusia Jawa yang terjajah, waktu itu, memakan apa saja. Termasuk batang pisang, ontong (bunga pisang), suket teki, ganyong, garut dan jamur. Yang terakhir, Jamur Merang, Jamur Kuping dan Jamur Payung sempat menjadi makanan bergizi kesukaan rakyat, setelah hal itu diperkenalkan bangsa Jepang kepada penduduk desa.

Di Jepun, potret kesengsaraan semakin tampak nyata ketika orang-orang yang mau direkrut sebagai Romusha berbaris panjang di gerbang kota. Badannya kurus bertapih goni (tidak dijahit). Mereka laki-laki usia antara 17 – 40 tahun. Ada beberapa yang berusia di atas 50 tahun. Dijatah makan nasi encer semacam bubur, 2 kali sehari. Dari goni yang dikenakan hidup kutu yang begitu mengganggu. Umumnya,  para petani itu akan dikirim ke proyek-proyek jalan raya, bendungan, pembanguna rel kereta api, dan sebagainya. Dibanding Kabupaten Kediri dan Blitar, rakyat Tulung Agung sangat banyak dikerahkan sebagai Rumusha. Meraka berasal dari desa Campur Darat, Kali Dawir, Muning, Ngunut, Rejo Tangan, Pager Wojo, Popoh, Kamulan dan desa-desa lain dari Kabupaten Trenggalek. Beberapa keluarga kami dari daerah Kalidawir, diceritakan, ada yang terlibat dalam Romusha yang bertugas di bendungan Miyama, Campur Darat.

Satu periode pendek dalam penjajahan Jepang, oleh para orang tua yang mengalaminya, sering disebut- sebagai periode getir dalam kehidupan mereka.  Hingga masa-masa kemerdekaan, kenangan itu seperti enggan dilupakan. Kakung, atau Mbah Dono, kerap melantunkan kidung Jawa Timuran :  ‘Pagupon Omahe Doro: Melu Nippon Tambah Sengsoro’ (Gupon Rumah Burung Dara: Ikut Nippon Tambah Sengsara)

Dari Desa Tetangga

Cerita perampasan karya terbaik tidak terjadi hanya di desa Jepun, Kabupaten Tulung Agung. Dalam perjalanan saya ke wilayah-wilayah kebudayaan di Indonesia: Surakarta, Yogyakarta, Lombok, Bali, Langkat, NTT, NTB dan Toba, para ‘empu’ di daerah-daerah itu, umumnya, diminta membuat karya terbaik. Lalu kalau pekerjaan meraka sudah selesai diminta begitu saja oleh para tentara Jepang. Menurut penuturan Ki Kasman (almarhum), pencetus Wayang Ukur dari Yogyakarta, orang tuanya yang pembatik dan pewaris Batik Nitiprajan,  kala itu, kerap diminta menyelesaikan pekerjaan Batik terbaik. Lalu, setelah Batik itu rampung, seorang tentara Jepang datang untuk memintanya begitu saja. Pak Padi, ‘empu’ Topeng (saat ini masih hidup) meuturkan bahwa,  di desa Kali Gesing, Klathen, terjadi hal serupa. Juga Empu Jeno (generasi ke 12 keturunan Empu Supo), Gusti Ngurah, pembuat Grantang dan Rindik di Watu Aji, Tabanan Bali, Abo Marsiyah penenun gedok di Lombok. Seorang penenun tua di NTT dan NTB, rata-rata menuturkan pengalaman sama. Karya –karya tenun ikat terbaik dari desa mereka di rampas Jepang dalam jumlah tidak sedikit. Karya Songket terbaik dari desa Langkat, menurut cerita ketua adat di sana, juga hak-miliki secara paksa oleh tentara Jepang.

Karena perlakukan tentara Jepang yang demikian, ini membuat para ‘empu’ menjadi malas bekerja. Atau bekerja secara sembunyi-sembunyi hanya untuk alasan melanjutkan tradisi. Dalam satu periode pendudukan Jepang di Tanah Air dapat disimpulkan bahwa, ekspresi berkebudayaan kurang menggembirakan. Organisasi-organisasi sosial dan politik dibubarkan. Masyarakat adat dilarang melakukan kegiatan kelompok. Perkembangan seni pertunjukan seperti Kethoprak dan Wayang Orang, di Jawa Tengah, yang pada tahun 1913-an, sempat diremajakan oleh seorang maesenas ketururan Thionghua bernama Gan An, tidak menemukan suhu pertumbuhan lebih baik di jaman Jepang.

Perkembangan motif batik Kembang Jepun, Payung Kertas, Bakiak, Plangkan (alas tidur dari kayu), sistem irigasi, penanaman padi, makan nasi, penanaman jamur merang, tidak bisa dipungkiri, adalah warisan budaya Jepang yang menempel di wilayah-wilayah tertentu di tanah air Nusantara. Namun tanda-tanda perkembangannya tidak menunjukkan adanya interaksi yang terbangun karena kesadaran penggabungan keunikan kultural yang seimbang dari masing-masing bangsa. Hampir seluruh budaya dan produk kebudayaan yang berkembang  dan membekas, itu semata karena faktor pasar dan permintaan untuk memenuhi kepentingan Jepang.

Secara arkitektural, memang sedikit terjadi perubahan pada bangunan-bangunan penting seperti markas trentara dan gudang-gudang bahan makanan. Bangunan bikinan Jepang tampak lebih simple disbanding bangunan gaya Belanda dan Eropa, umumnya.

Pertanyaan yang Tersisa

Pertanyaanya penting ingin saya lempar di dalam seminar ini.  Apakah benar gerakapan perampasan seperti yang tercatat di atas, itu dilakukan oleh pemerintah Jepang secara sistematis sebagai bentuk strategi pemiskinan kultural yang dilaksanakan oleh bangsa Jepang terhadap bangsa Indonesia? Lalu dikemanakan hasil karya ‘adhi luhung’ bangsa Indonesia itu kini tersimpan? Perlu menjadi pertanyaan karena terdapat pola perampasan yang sama, terjadi hampir di seluruh Indonesia. Lalu betulkan aksi perampasan ini merupakan satu paket dari perendahan, mental,  derajat dan martabat bangsa dengan menempatkan banyak wanita Indonesia sebagai Yoghun Ianfu dan Romusha, misalnya?

Selama 3,5 tahun pendudukan Jepang, sepertinya tidak ada peninggalan kebudayaan yang diwariskan secara kuat untuk negeri ini. Bisa jadi Agresi adalah kata kunci. Pendeknya waktu penjajahan menjadi alas an kedua. Dan kedatangan Jepang, ketika itu, memang lebih karena didorong oleh semangat rivalitas di antara Negara-negara industri yang ingin menguasai sumber-sumber alam dunia, terutama Asia dan Pasifik. Masalah kebudayaan, bukan tidak dipertimbangkan. Akan tetapi, hasrat penguasaan satu bangsa terhadap bangsa lain, negara satu terhadap negara yang lain, keangkuhan jenderal yang satu terhadap jendral yang lain, kekeraskepalaan pemimpin negara yang satu terhardap kepala Negara yang lain, sedang menjadi ‘trend’ dan membentuk gagasan dominan – yang merasuk menjadi reflek tindakan kemiliteran, ketika itu.

Perang dunia selama hampir 8 tahun di era 1940, hanya menyisakan luka. Pedih itu itu bukan cuma rasa kita, bangsa Indonesia. Juga bukan luka bangsa Asia seperti Cina, Korea, Philipina, Malaysia, dan Burma. Perang besar itu membuat cedera dan luka bagi bangsa-bangsa dunia. Bahkan dari perih dan derita itu, lalu kemudian, kita merdeka. Masalahnya ada yang cepat melupakan dan menjadikan kekalahan sebagai awal kebangkitan. Namun ada yang menyimpan luka sebagai modal dendam untuk mengambil balas. Sebagian yang lain sedang menginventarisasi luka-luka lama untuk dijadikan modal berjudi dalam mengantisipasi kemungkinan agresi Jepang, Amerika, juga Cina dan Arab yang, sebetulnya sudah lama terjadi. Tidak dalam bentuk agresi bersenjata, tentu saja. Melainkan melalui penguasaan pemikiran, tindakan, alasan-alasan dalam merumuskan dan membangun kebersamaan, serta yang utama, dalam bentuk ekonomi industri.

‘PAGUPON OMAHE DORO : Melu Nippon Luwih Sengsoro’, dalam konteks kemerdekaan, saat ini, sebaiknya tidak lagi dibaca bahwa dijajah Jepang akan lebih sengsara - dibanding dijajah oleh bangsa-bangsa lainnya. Pembacaan terhadap ‘parikan’ (pantun Jawa Timur-an) itu harus digaris bawahi sebagai  bentuk kesadaran bahwa, sebagai bangsa merdeka, apa pun bentuk dan wujud penjajahan, harus disikapi sebagai  belenggu kebudayaan yang sepatutnya perlu berkembang dan dikembangkan sesuai daya ucap kita.  Pertanyaan terakhir, mampukah kita, bangsa Indonesia kontemporer, ini melakukan pembebasan terhadap ’penjajahan’ yang dilakukan bangsa lain melalui cara-cara yang lebih halus dan serba tersembunyi : berupa penjajahan gagasan dominan yang membentuk tindakan-tindakan ‘pasar’, yang dampaknya mulai terasa melumpuhkan akal sehat kita?
Penulis : Jokosaw Koentono
23 Oktober 2010 / Jokosaw Koentono, Lahir: Kediri 13 Oktober 1959

1 komentar:

  1. Menarik sekali paparan ini, dan sesungguhnya dapat menjadi titik tolak diskusi yang lebih luas dan dalam. Luas, dalam arti, untuk mengetahui bagaimana negara2 penjajah memandang dunia dan memenangkan kepentingan nasionalnya. Dalam, dalam artian, bagaimana kebudayaan2 sesungguhnya bersaing dan berupaya merontokkan untuk selanjutnya membuat bangsa2 lemah yang kehilangan identitas budayanya dapat dikontrol oleh yang kuat. Alasan Jepang untuk menantang perang negeri2 kuat waktu itu, dapat lebih dipahami dan sekaligus bermanfaat buat kita, bila tidak dilihat semata bermotifkan persaingan ekonomi, industri atau perdagangan. Restorasi Meiji tidak dimaksudkan untuk membangkitkan Jepang sebagai kekuatan ekonomi belaka, tapi lebih pada kebudayaan dan peradaban. Karena bangsa Jepang melihat derajat martabat bangsa-banggsa lain dari kacamata peradaban dan kebudayaan. Jepang sendiri merasa tetap dalam bayang2 peradaban dan kebudayaan Tiongkok bila belum membuktikan kejayaannya sebagai bangsa yang beridentitas khas dan mandiri. Dan itu mesti ditempuh lewat kemenangan dalam peperangan, menurut metode dan jalan pikiran dan suasana batin kala itu. Barangkali itulah sebabnya, Jepang cenderung merampas simbol2 budaya leluhur kita agar kebesaran peradaban dan kebudayaan kita lenyap. Suatu hal jamak yang dilakukan oleh bangsa2 penjajah, dan pernah dilakukan oleh Raffles yang memboyong kepustakaan leluhur kita ke Inggris. Maka bagi kita sekarang, khususnya para pemimpin, kebesaran kebudayaan kita mesti dilestarikan dan diperkaya. termasuk perlu bersikap berani dalam menghadapi tekanan bangsa-bangsa lain demi martabat dan harga diri. Bung Karno benar ketika menyemangati rakyat Indonesia merebut Irian Barat, menantang Inggris dan mengganyang negara boneka Malaysia dg semangat "Ini Dadaku, mana dadamu!". Pun Vietnam, menjadi bangsa yang cepat maju setelah berhasil berjuang habis2an melawan Amerika. (Sekedar pendapat. Salam hormat).

    BalasHapus