Jumat, 12 November 2010

Jugun Ianfu- Aib tanpa Dosa

Hilde Janssen
Sejatinya ini merupakan bahan presentasi dari Hilde Janssen (Wartawan Algemeen Dagblad) yang disampaikan pada Seminar Global Future Institute (GFI) bertajuk 65 Tahun Kapitulasi Jepang Dalam Perang Asia Pasifik pada Senin, 25 Oktober 2010 lalu di Hotel Santika Jakarta. Berikut kami sungguhkan kembali di media online Global Future Institute ini. Tetaplah Berpikir Merdeka.






 

Tentara Jepang wanita penghibur
  • Seks terkontrol Kebijakan pragmatis 
  • Merangsang semangat, disiplin pasukan
  • Mencegah penyakit kelaminan
  • Menghindari perkosaan liar dan masal
  • Mengurangi risiko espionase

Romusha Era Modern: Mewaspadai Kembali Munculnya Militerisme Bangsa Jepang (Asing)

Jaka Perbawa
Catatan Redaksi: Sejatinya tulisan ini merupakan makalah sumbangan yang disampaikan oleh Jaka Perbawa dalam kapasitasnya sebagai staf Museum Perumusan Naskah Proklamasi mewakili direktur  museum yang berhalangan hadir. Berikut adalah beberapa poin penting berkaitan dengan tema seminar bertema Jugun Ianfu, Romusha dan Sejarah Kelam Militerisme Jepang. Selamat Membaca dan tetap berpikir merdeka.

Sejarah kelam masa pendudukan militer Jepang tidak akan mudah dihapus dari ingatan bangsa Indonesia. Kebijakan kerja paksa atau romusha serta pengerahan wanita-wanita Indonesia untuk dijadikan jugun ianfu benar-benar telah menyakiti bangsa Indonesia hingga kini. Kita harus mewaspadai munculnya kembali militerisme Jepang.

Pagupon Omahe Doro-Sepenggal Kisah dari Desa Jepun, Tulung Agung, 1942 – 1945

Jokosaw Koentono
Jepang  tidak  sendiri. Tahun-tahun itu, 1942 – 1945, adalah waktu puncak ‘iklim perkelaian’ negara-negara industri,  di seluruh dunia.  Ingin turut berperan dalam perebutan sumber-sumber alam di Asia, Jepang  menantang  tiga  Jagoan kolialisme sekaligus : Belanda, Inggris dan Amerika. Agak nekat. Tapi itulah pilihan Hiroshi Imamura, Letnan Jenderal, yang menentukan Agresi Militer ke seluruh Asia dengan terlebih dulu menyerang basis pertahanan Amerika, di  Pearl Harbor, Hawaii. Semboyan yang di kumandangkan adalah : ‘Maju mengambil kesempatan besar atau tidak sama sekali!’

Tidak tangung-tanggung, untuk perang Badar ini, Jepang mengerahkan puluhan kapal induk, puluhan kapal perang, ratusan kapal penjelajah berat, lebih dari 50 kapal penjelajah ringan, puluhan kapal pengangkut perlengkapan, ratusan kapal perusak, puluhan kapal selam, ribuan  pesawat  tempur, ribuan tank baja dan amphibi serta ratusan ribu serdadu berani mati.

Peranan Rusia Pada Selesainya Perang Dunia II Di Kawasan Asia-Pasifik

Nikolay Tolmachev
Seminar yang digelar Global Future Institute (GFI) bertajuk 65 Tahun Kapitulasi Jepang Dalam Perang Asia Pasifik pada Senin, 25 Oktober 2010 lalu di Hotel Santika Jakarta, hadir utusan dari Kedutaan Besar Rusia untuk Indonesia. GFI memberikan kesempatan kepada Dr. Nikolay Tolmachev, Sekretaris Pertama Kedutaan Rusia ini membacakan statment terkait dengan tema seminar. Berikut statmentnya.

Pada bulan September lalu kita memperingati HUT ke-65 dari suatu peristiwa bersejarah abad ke-20. Pada tanggal 2 September 1945 pejabat pemerintah Jepang menandatangani Akta penyerahan Jepang tanpa syarat. Hal ini berarti bahwa Perang Dunia II selesai.

Refleksi Sejarah dan Gerakan Isu Romusha 65 Tahun

Anugrah Saputra
Peneliti tentang Romusha
Periode Invasi Jepang 1942-1945 di Indonesia seolah memiliki dua sisi mata uang. Sejarah masa kelam bangsa dan menguatnya rasa nasionalisme. Masa kelam tersebut terjadi karena eksploitasi di hampir seluruh lapisan masyarakat untuk kepentingan perang Asia Timur Raya, militer Jepang. Eksploitasi semakin menjadi karena kerjasama yang kuat antara Pemerintahan Militer Jepang dan kelompok nasionalis yang menyambut dan mengelukan kekuatan Jepang akibat frustasi dijajah Belanda.

Selain mencari sumber minyak, karet, batu bara, serta bahan mineral lain, eksploitasi juga terjadi pada manusia. Pemerintah Militer Jepang antara lain, menggerakan dan mendorong pengorgnisasian massa yang dikenl dengan nama romusha, jugun ianfu, dan heiho. Namun, karena ketiga jenis karakteristik dan fungsi peruntukan tenaga tersebut berbeda-beda, oleh sebab itu pada tulisan ini saya hanya membahas satu persoalan saja yaitu, praktik kerja paksa (romusha). Fokus tulisan ini ingin menyoroti bagaimana terbentuknya ide kerja paksa, Penelitian yang membahas persoalan tersebut dan riset awal di Boyolali, serta nasib isu dan gerakan kemanusiaan romusha kekinian di tanah air. Berikut ini saya paparkan bagian-bagian tersebut.

Ekspansi Militer Jepang dalam Perang Dunia II dan Dampaknya terhadap Percaturan Politik di Asia-Pasifik

Rahadi T. WiratamaPakar Sosial Politik LP3ES
Sebelum melakukan ekspansi militernya ke negara-negara di kawasan Asia Pasifik, Kekaisaran Jepang telah mempropagandakan apa yang oleh kaum militeris Jepang dinyatakan sebagai Dai-tō-a Kyōeiken (Greater East Asia Co-Prosperity Sphere). Gagasan ’kemakmuran bersama’ ini dimaksudkan sebagai upaya meraih dukungan dari bangsa-bangsa Asia yang saat itu masih berada di bawah kekuasaan kolonialisme Barat. Melalui gagasan ini kaum militeris Jepang berharap bangkitnya negeri-negeri Asia untuk melawan tuan-tuan kulit putih mereka.

Bagi sebagian pemimpin nasionalis Asia gagasan semacam itu boleh jadi merupakan semacam inspirasi untuk membangkitkan sentimen nasionalisme anti-kolonial. Sampai batas tertentu, gagasan ’kemakmuran bersama’ ciptaan kaum militeris Jepang itu dapat digunakan oleh para pemimpin gerakan nasionalis di negeri-negeri Asia sebagai bagian dari upaya perjuangan melawan dominasi kolonialisme Barat.

Pentingnya Ingatan Kolektif

Maria Hartiningsih
Seluruh jejak seakan lenyap begitu Mardiyem berpulang tanggal 21 Desember 2007, menyusul Suhanah yang berpulang 17 April 2006. Perayaan kemerdekaan Republik Indonesia tak pernah mengenang, apalagi menyebut mereka sebagai bagian sejarah resmi di negeri ini.

Sejarah nasional yang ‘agung’ telah menegasikan pengalaman kelam perempuan selama masa penjajahan Jepang. Sikap ini terbaca ketika Pemerintah memutuskan menggunakan ‘dana kompensasi’ -- yang bisa dibilang tidak memadai dibandingkan penderitaan yang harus ditanggung jugun ianfu -- sebesar 380 juta yen pada tahun 1997, bertahap selama 10 tahun dari Asian Women’s Fund (AWF). Pemerintah Indonesia menggunakan dana itu untuk keperluan kaum lansia di panti jompo. Aliran dana tidak dikelola transparan.