Jumat, 12 November 2010

Refleksi Sejarah dan Gerakan Isu Romusha 65 Tahun

Anugrah Saputra
Peneliti tentang Romusha
Periode Invasi Jepang 1942-1945 di Indonesia seolah memiliki dua sisi mata uang. Sejarah masa kelam bangsa dan menguatnya rasa nasionalisme. Masa kelam tersebut terjadi karena eksploitasi di hampir seluruh lapisan masyarakat untuk kepentingan perang Asia Timur Raya, militer Jepang. Eksploitasi semakin menjadi karena kerjasama yang kuat antara Pemerintahan Militer Jepang dan kelompok nasionalis yang menyambut dan mengelukan kekuatan Jepang akibat frustasi dijajah Belanda.

Selain mencari sumber minyak, karet, batu bara, serta bahan mineral lain, eksploitasi juga terjadi pada manusia. Pemerintah Militer Jepang antara lain, menggerakan dan mendorong pengorgnisasian massa yang dikenl dengan nama romusha, jugun ianfu, dan heiho. Namun, karena ketiga jenis karakteristik dan fungsi peruntukan tenaga tersebut berbeda-beda, oleh sebab itu pada tulisan ini saya hanya membahas satu persoalan saja yaitu, praktik kerja paksa (romusha). Fokus tulisan ini ingin menyoroti bagaimana terbentuknya ide kerja paksa, Penelitian yang membahas persoalan tersebut dan riset awal di Boyolali, serta nasib isu dan gerakan kemanusiaan romusha kekinian di tanah air. Berikut ini saya paparkan bagian-bagian tersebut.
Ide Kerja Paksa Romusha
Pada 8 Maret 1942 Hindia Belanda secara de jure berhasil ditaklukan menyeluruh oleh Militer Kekaisaran Jepang hanya dalam tempo 8 hari saja. Kesuksesan Militer Jepang menduduki wilayah Hindia Belanda akhirnya membuat pasukan Belanda dan sekutu ngacir tungang langeng atau rela menjadi tahanan perang. Padahal rangkaian invasi yang panjang dari tahun 1939 telah digelar mencakup wilayah China (Peking dan Nanking) dan wilayah selatan (Korea, Indochina, Burma, Filipina, Hongkong, Malaya, Singapura, dan Hindia Belanda. Panjangnya waktu kampanye militer ini sudah barang tentu amat menguras sumberdaya dan energi Militer Jepang.

Hengkangnya pemerintahan Kerajan Belanda membuat wilayah Hindia Belanda kosong pemerintahan. Karena luasnya wilayah Hindia Belanda yang diekspansi Jepang, maka untuk mengefektifkan wilayah pendudukan, administrasi pemerintahan dibagi ke dalam tiga daerah, yaitu:
  1. Pemerintahan Militer Angkatan Darat (Tentara Rikigun Kedua Puluh Lima) untuk Sumatra, Berkedudukan di Bukittinggi;
  2. Pemerintahan Militer Angkatan Darat (Tentara Rikigun Keenam Belas) untuk Jawa dan Madura, berkedudukan di Jakarta.
  3. Pemerintah Militer Angkatan Laut (Kaigun Armada Selatan Kedua) untuk daerah yang meliputi Sulawesi, Kalimantan, Maluku, berkedudukan di Makassar.

Melalui pembagian wilayah kekuasaan tersebut diharapkan stabilitas dan kekacauan karena beralihnya pemerintahan dapat dicegah sedini mungkin. Oleh karena itu pada tanggal 20 Maret 1942 diumumkan Undang-undang No.3 yang melarang segala macam bentuk pertemuan, pergerakan, atau anjuran propaganda yang menyangkut hal-hal mengenai perturan dan susunan negara.  Undang-undang tersebut juga menjelaskan bahwa peraturan tersebut dibuat untuk sementara waktu, untuk mencegah timbulnya kekuatan politik di Indonesia, dan agar rakyat memikirkan sedalam-dalamnya bagaimana cara bekerja sama dengan pemerintahan pendudukan (Militer Jepang).

Pemuliahan menjaga stabilitas peralihan kekuasaan dari Belanda ke militer Jepang ditandai dengan peraturan untuk yang bersifat menjepangkan Indonesia dan perubahan struktur pemerintahan. Pemeritahan Belanda dihapuskan yang kemudian digantikan dibentuknya pemerintahan militer yang bersifat sementara, dibentuknya Kantor Pemerintahan Militer Jawa (Jawa Gunseibu) yang berada langsung Kepala Staf Tentara Keenam Belas, yang diangkat sebagai kepala pemerintahan.

Pemerintahan Militer ini memiliki delapan departemen sebagai penunjang jalannya pemerintahan. Departemen tersebut antara lain Departemen Urusan Umum (Somubu), Departemen Dalam Negeri (Naimbu), Departemen Perekonomian (Sangyobu), Departemen Keuangan (Zaimubu), Departemen Kehakiman (Shihobu), Departemen Kepolisian (Keimubu), Departemen Lalu-Lintas (Kotsubu), dan Departemen Propaganda (Sendenbu) (Mr. A.A. Zorab, dikutip dalam Herkusumo, 1982: 10).   

Pendudukan wilayah di Jawa juga dilakukan untuk pemerintahan setempat di Jawa dan Madura –kecuali DIY dan Surakarta— yang dibagi menjadi tujuh belas keresidenn (shu) yaitu Banten, Jakarta, Bogor, Priangan, Cirebon, Pekalongan, Semarang, Banyumas, Pati, Kedu, Surabaya, Bojonegoro, Madiun, Kediri, Malang, Besuki, dan Madura. Di Pemerintahan Daerah sendiri di setiap tingkatan menggunakan nama Jepang, yaitu ken (kabupaten), gun (kewedanaan), son (kecamatan), dan ku (desa). Di Sumatera dibagi menjadi shu, bunshu, gun, dan son. Pemerintahan Militer di Sumatera membagi sembilan shu, yaitu Sumatra Timur, Sumatra Barat, Riau, Jambi, Bengkulu, Palembang, Lampung, dan Bangka-Belitung. Untuk Pemerintahan Militer Angkatan Laut membentuk Minseifu (Kantor Pemerintahan Sipil), yakni Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Sunda Kecil, yang dibagi lagi menjadi shu, ken, bunken, gun, dan son. Semua Jabatan dipegang oleh orang Jepang.

Pada masa ini golongan nasionalis yang kooperatif dengan Pemerintahan Militer Jepang membentuk usaha-usaha bersama dalam bentuk organisasi massa. Pihak Militer Jepang pun tidak mau ketinggalan untuk memanfaatkan gerakan itu untuk memobilisasi masa guna kepentingan dukungan kampanye militer di kawasan Asia-Pasifik untuk menaklukkan Tentara Sekutu. Terbentuklah Gerakan Tiga A dan Poetra (kemudian berganti menjadi Hokokai) sebagai wadah pemusatan konsentrasi massa.  Melaui tokoh pengerak yang dikenal dengan empat serangkai, yaitu Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, K.H. Mas Mansur, dan Ki Hadjar Dewantara, dan. Selain kelompok Nasionalis yang dinilai kooperatif oleh Militer Jepang, golongan Islam pun mendapat tempat dipanggung gerakan keagamaan sehingga organisasi seperti MIAI, Moehamadiyah, dan Nahdatul Ulama diijinkan berdiri kembali.

Sementara upaya stabilitas berlangsung di kawasan Hindia Belanda di luar sana, Tentara Jepang semakin merangsek di wilayah pulau-pulau kecil di Laut Pasifik. Hal itu digunakan untuk merebut wilayah pendudukan guna membentengi gerak serangan Pasukan Amerika, Australia, dan Pasukan sekutu lainnya. Kekalahan telak armada Jepang terjadi di Coral Sea dan Midway. Di pertempuran itu banyak armada militer termasuk pasukan telah menjadi korban. Kegagalan tersebut membawa implikasi yang besar sehingga, praktis kekalahan Militer Jepang sudah semakin di depan mata.

Kondisi tersebut membuat sontak Parlemen di Jepang dan Pemerintahan Militer Jepang sehingga membuat keputusan untuk semakin meningkatkan eksploitasi sumber daya yang dimiliki Hindia Belanda, termasuk manusia sebagai alat perang. Untuk itu partisipasi politik yang melibatkan kelompok nasionalis kooperatif ke dalam sebuah Dewan Pertimbangan Pusat (Chuo Sangi-in) menjadi mutlak. Tokoh empat serangkai digandeng untuk memuluskan rencana ini, sehingga dibentuklah keanggotaa sebanyak 23 orang yang diangkat oleh Saiko Shikikan (Panglima Tertinggi Tentara Keenam Belas) melalui rekomendasi perwakilan di daerah-daerah.

Chou Sangi-in secara resmi bersidang pertama kali 16 – 20 Oktober 1943. Tujuan sidang ini dimaksudkan untuk semakin mempertegas bahwa rakyat Indonesia dapat bahu-membahu untuk mewujudkan kemenangan Kemaharajaan Kaisar Jepang (Tenno) di Asia Timur Raya. Akhir sidang tanggal 20 Oktober 1943 menghasilkan keputusan dengan arahan Saiko Shikikan melalui mediasi dengan Departemen Urusan Umum bahwa disepakati langkah-langkah yang dilakukan oleh pemerintahan di Indonesia:
1.    Memperkuat dan melindungi para prajurit Peta dan Heiho;
2.    Menggerakan Tenaga Kerja untuk keperluan masyarakat dan perang;
3.    Meneguhkan susunan penghidupan masyarakat dalam masa perang;
4.    Memperbanyak hasil bumi.

Pada butir kedua operasionalisasinya dibentuk pengorganisasian masa dengan membentuk Romusha (dalam bahasa propaganda ialah prajurit pekerja). Untuk mengorganisasi ini dibutuhkan perangkat lokal mulai shu (keresiden), ken (kabupaten), gun (kewedanaan), son (kecamatan), dan ku (desa), menyusul dibentuknya Kumai (Koperasi), Tonarigumi (Rukun Tetangga).  Hal itu dilakukan untuk memobilisasi massa secara masal, sukarela, dan cepat. Karena masyarakat semi-feodal pada waktu itu amat takut dan tunduk oleh institusi pemerintah (seperti hubungan raja dan bawahan atau patron dan klien).

Itulah sekelumit mengenai rencana awal eksploitasi manusia sebagai pekerja paksa dari mulai aturan sampai pada oprasionalisasi dilapangan yang langsung melibatkan tokoh nasional yang berpengaruh, perangkat pemerintahan, serta tokoh yang ada dipelosok wilayah desa (seperti, kiyai dan pemuka adat).

Penelitian Romusha Di Indonesia
Romusha merupakan tenaga buruh kerja paksa yang direkrut berumur sekira 16-40 tahun, baik perempuan dan laki-laki. Praktik romusha ini dimobilisasi mengunakan struktur pemerintahan yang paling relatif dekat di level kecamatan (son), desa (ku), dan rukun tetangga (Tonarigumi). Mereka bekerja untuk Militer Jepang melalui aparat pemerintahan lokal dengan instruksi bersifat sukarela dan memaksa. Setiap tiga wilayah yang dibagi tiga pemerintahan militer, memiliki dan mengorgaisasi pekrja sebagai romusha. Namun yang banyak dimobilisasi masal ialah orang yang berasal dari Pulau Jawa

Pemobilisasian dilakukan untuk wilayah yang menurut Kepala Pemerintahan Jepang perlu dieksplorasi seperti di wilayah Sumatera, Kalimantan, Jawa Bagian Selatan. Romusha ini juga dapat di ekspor ke luar negeri seperti Singapore, Filipina, Malaysia, dan Birma. Tentu pengaturan suplai tenaga kerja dilihat melalui tingkat kebutuhan dan hasil yang ingin dicapai oleh Pemerintah Militer Jepang di ketiga wilyah administratif.

Untuk angka pengerahan ini banyak peneliti mengajukan sumber yang berbeda-beda. Para peneliti yang membahas romusha seperti Kurasawa, Sato, Raben, menyebutkan data romusha yang dikirimkan ke wilayah Asia Bagian Selatan dan Pasifik sebanyak 300.000 orang Jawa. Namun Kurasawa menggunakan dokumen dari Jepang mengungkap jumlah romusha yang dimobilisasi oleh Pemerintah Militer Jepang,  mencapai jumlah 4 juta jiwa.  Tetapi menurut Kepala Militer Jepang di Pulau Jawa, Yamamoto, jumlah tenaga kerja yg dikirim jumlahnya hanya sekira 140.000 sampai 160.000 orang (Nishijima dalam Herkusumo, 1982). Jumlah pengerahan tenaga kerja ini masih simpang siur karena sulitnya menemukan dokumen detil untuk pengerahan tenaga kerja massal di wilayah Hindia Belanda. Apalagi antara jumlah romusha yang dikirim keluar Jawa, di dalam Jawa, serta romusha tetap dan romusha sementara, klasifikasi persis usia, masih belum jelas.

Terlepas dari persoalan tersebut dari penelitian yang ada hampir seluruhnya menujukan pola yang sama. Pekerjaan yang mereka lakukan itu banyak terkonsentrasi membangun infrastruktur dan eksploitasi sumber daya alam untuk perang, seperti: mengupulkan bahan pangan seperti padi dan tanaman obat-obatan, membuat jalan, jembatan, jalan raya, rel kereta api, landasan pesawat terbang, dan menggali bahan tambang. Pekerjaan itu dilakukan dengan memanfaatkan penduduk yang tersebar di seluruh Indonesia—khususnya penduduk di P. Jawa bagian tengah. Hal itu dilakukan dengan cara propaganda pihak militer jepang dan para kolabolator pemerintah Republik Indonesia. Sehingga perintah tersebut menjadi efektif untuk memobilisasi masyarakat terutama yang ada di Pulau Jawa.

Beberapa penelitian yang terkait langsung dengan romusha antara lain seperti, Kurasawa (1993) berbicara mengenai studi tentang perubahan sosial di pedesaan Jawa, yang menyoroti mobilisasi masyarakat desa melalui aparat lokal dan kondisi romusha secara umum pada konteks itu. Lalu tulisan Poeze (2006), mengungkap pekerja paksa yang berasal dari jawa dipergunakan membangun jalan kereta api dari Bayah menuju Saketi untuk keperluan pengangkutan dan mengali tambang batu bara di Bayah, Banten, Jawa Barat.

Lain halnya dengan Raben (2003), membahas pengerahan romusha di wilayah timur seperti Celebes (Sulawesi), Moluccas (Maluku), New Guinea (Irian Jaya), dan Borneo (Kalimantan) dengan memanfaatkan masyarakat lokal dan orang dari Pulau Jawa. Penelitian lain yang dibahas Sato (2003) mengenai mobilisasi penduduk Jawa sebagai Romusha namun untuk kepentingan pertanian (menanam padi) sebagai pasokan pangan tentara Jepang untuk berperang dengan sekutu. Kemudian Romusha, Kisah Seorang Tawanan Jepang yang ditulis oleh Thompson, yang merupakan autobiografi sebagai seorang tawanan perang tentara jepang. Di dalam bukunya ia menceriterakan sebagai salah satu tentara sekutu yang ditangkap tentara Jepang dan dipindah antarcamp untuk melakukan kerja paksa yaitu  membangun rel kereta api dan landasan pesawat terbang.

Hal itu sangat menegaskan terjadi pengerahan massa besar-besaran di hampir seluruh wilayah Indonesia oleh Pemerintahan Militer Jepang—yang telah kalah di front battle menghadapi Pasukan Amerika dan sekutu. Beberapa hasil riset tersebut lebih banyak berfokus kepada aspek dari pola pengorganisasisan para romusha di ranah makro. Meski antara hasil penelitian yang satu dengan yang lain saling melengkapi. Umumnya Militer amat menekankan perangkat desa untuk mengerahkan dan mengeksploitasi tenaga kerja dilakukkan juga dengan cara paksaan dan tipuan. Mengalami paksaan jika korban yang ditunjuk tidak berhasil ditipu dengan iming-iming mendapat upah yang memadai dan makanan yang layak.

Hasil temuan observasi awal saya ketika menapaki wilayah Boyolali menemukan kasus mikro di satu desa yang seluruh penduduk desanya dijadikan romusha. Sedikit ada perbedaan dan kemiripan ketika saya melakukan penyelidikan hasil penelitian mengeni romusha di Indonesia. Pada observasi awal di Boyolali saya berusaha melihat mengapa ada disain konsentrasi pertahanan militer Jepang di wilayah tersebut. Hal ini mirip dengan romusha yang membangun fasilitas pertahanan militer seperti di Kaliurang dan Mranggi Jateng.  Mereka membuat gua dan terowongan, kemudian di luar penduduk di perintahkan menanam tanaman obat (organik) untuk kebutuhan militer di-front. 

Hasil awal observasi yang saya temukan di Desa R Boyolali, ditemukan suatu yang mengejutkan. Ternyata pada saat Militer Jepang menguasai wilayah tersebut, mereka melakukan kebijakan romusha yang ekstrim. Di dalam satu desa hampir semua orang, baik anak-anak yang berumur 5 tahun sampai orang tua yang berusia sekitar 40 tahun, menjadi romusha. Hal itu konon dilakukan untuk mempercepat target pekerjaan yang telah direncanakan oleh Militer Jepang.

Di Desa R yang berada diantara pegunungan, terdapat goa jepang yang banyaknya pun masih simpang siur ada yang mengatakan 9 goa, 11 goa, atau 12 goa. Beberapa penduduk yang sudah sepuh dan aparat desa mengatakan beberapa goa tertutup dan longsor tertimbun tanah, sehingga banyaknya tidak dapat dihitung lagi.

Untuk memastikan itu saya melakukan ekspedisi gua Jepang yang ada di sekitar areal perbukitan. Akhirnya saya menemukan gua sebanyak delapan, sisanya tertimbun oleh tanah. Hasil penelusuran tersebut membuktikan bahwa Desa Suroteleng menjadi salah satu basis pertahanan yang berada di Jawa Tengah.

Dari sisi geografis pun Boyolali menarik untuk ditelusuri karena tersebut pada waktu sebelum pendudukan Jepang merupakan wilayah perkebunan Kopi, Kina, dan Tebu (komoditi ekspor) milik Belanda. Komoditi yang lain paling hanya berupa tanaman sayur untuk memenuhi kebutuhan penduduk setempat saja (subsisten). Kontur tanah dan wilayah geografis berbukit. Artinya, kalau mau dijadikan sebagai tempat lumbung pangan beras bukan merupakan wilayah yang cocok.

Observasi tersebut saya lanjutkan juga dengan melacak keberadaan ex-romusha yang masih hidup. Terdapat beberapa orang yang menjadi romusha yang bekerja di wilayah setempat masih hidup. Pekerjaan mereka membangun infrastruktur untuk pertahanan militer, seperti goa Jepang yang tersebar di areal perbukitan dan pegunungan. Mereka bekerja sesuai dengan keahlian masing-masing seperti menggali lubang, membawa kayu, serta mereka yang menguruk tanah. Jika ia bekerja sebagai penggali lubang, maka ia akan melakukan pekerjaan itu terus menerus (tidak ada sistem rolling kerja). Kecuali ada kebijakan yang berubah berdasarkan rekomendasi aparat pemerintah ke pejabat atau staf militer Jepang yang bertugas di situ.

Mereka yang berkerja di penggalian goa kebanyakan adalah orang yang memiliki status sosial yang rendah. Sebelum Jepang masuk mereka hanya petani buruh, kuli bangunan, atau orang yang bekerja serabutan. Bagi aparat pemerintahan dan elit desa golongan ini yang paling banyak mendominasi penduduk di desa.

Kerja yang relatif ringan biasanya dapat diperoleh oleh orang yang berasal dari golongan ekonomi ke atas. Misalnya anak seorang kiyai, tokoh adat, orang yang relatif sudah mengenyam pendidikan dasar (Sekolah Rakyat), biasanya dipekerjakan sebagai juru tulis atau kurir surat. Kalaupun bekerja fisik ia hanya sekadar mengangkat kayu atau batu, tidak bekerja berat seperti menggali gua Jepang. Waktu bekerja pun hanya sekira 5-7 jam, tergantung kondisi dan situasi saat itu.

Upah untuk pembayaran kepada para romusha pun diatur melalui suatu mekanisme berupa bahan makanan (beras dua cangkir seminggu dua kali). Berdasarkan klasifikasi kerja mereka ada pelbagai macam ada kerja mereka yang berat, sedang, dan ringan. Hal menetukkan upah (bahan makanan) romusha ditangani oleh Pemerintahan Militer Jepang. Pada kenyataannya upah minim berupa beras kualitas rendah tersebut tidak diterima sesuai dengan yang dijanjikan.

Untuk pemobilisasian massa ini jelas dilakukan untuk membuat basis pertahanan militer yaitu dengan membangun goa di areal pegunungan. Serta, menaman tanaman yang diyakini sebagai obat untuk menyembuhkan luka. Namun anehnya belum terlihat konsentarasi pasukan di wilayah tersebut memasuki pertengahan tahun 1944. Namun sudah ada konsentrasi bahan pangan di seputar areal goa berupa kandang ayam dan kandang sapi yang di bangun romusha.

Informasi menyatakan bahwa tentara Jepang  yang ditugasi menjaga hanya sebanyak lima orang. Mereka datang di pagi hari, siag hari, dan malam hari secara berggantian mengontrol target pekerjaan bersama dengan aparat dari desa atau kecamatan. Hal itu dilakukan terus sampai mereka kalah perang dengan sekutu dan akhirnya pergi meninggalkan begitu saja romusha-nya tanpa pemberitahuan apa-apa.

Banyak kisah riset saya yang belum dapat terjabarkan, karena masih dalam pengembangan dan analisis. Mungkin akan saya jabarkan kembali pada kesempatan yang lain.

Puncak Redupnya Isu dan Gerakan?
Pasca menyerahnya Militer Jepang kepada sekutu, apakah ada penyelesaian untuk masalah invasi militer Jepang di Indonesia? Setahu saya pernah ada Pengadilan Militer Internasional untuk Timur Jauh (International Military Tribunal for the Far East (IMTFE), juga dikenal dengan Pengadilan Kejahatan Perang Tokyo, yang mulai diselenggarakan pada 3 Mei 1946 sampai 12 November 1948 dibuat dengan tujuan untuk mengadili para pemimpin kekaisaran Jepang atas pembantaian manusia di Nanking dan kejahatan kemanusiaan selama Perang Dunia ke-II.

Namun ternyata hal itu, tidak menyentuh persoalan kejahatan perang yang terjadi spesifik di Indonesia—salah satunya pengerahan kerja paksa (romusha). Paling santer yang dibahas hanya ganti rugi kepada (Prison of War) POW sekutu yang dijadikan romusha selama masa perang. Ini membuktikan pengadilan tersebut lebih banyak membahas kerugian di pihak sekutu.

Namun kemudian, di San Francisco, Amerika Serikat pada tahun 1951  digagas suatu pertemuan Perundingan Perjanjian Damai dan Pampasan Perang dengan Jepang (Perjanjian San Francisco), yang bermaksud menuntaskan penyelesaian masalah PD ke-II. Indonesia kemudian diundang atas dasar sebagai negara bekas pendudukan Jepang. Pada waktu itu RI (pada masa PM. Djuanda) memutuskan ikut karena waktu itu melihat manfaat dan kuntungan yang akan didapat dari perjanjian tersebut. Pada 20 Januari 1958 , menindaklanjuti hasil Perjanjian San Francisco, pemerintah Indonesia menandatangani perjanjian bilateral yang berisi kesepakatan ganti rugi RI - Jepang.

Di dalam perjanjian perdamaian yang memunculkan kesepakatan Pampasan Perang RI-Jepang ternyata tidak menyinggung sedikit pun ganti rugi secara personal terhadap para korban (romusha, ianfu, dan heiho). Persoalan yang mengemuka malah membahas kerugian materil dengan perencanaan pembangunan fisik negara–melalui Dewan Ekonomi dan Pembangunan dan kementrian yang terkait. Alhasil persoalan kejahatan kemanusian Militer Jepang menjadi terkunci rapat melalui perjanjian tersebut. Perjanjian ini menurut saya menjadi penyelesaian “sapu jagad”, untuk mengaburkan persoalah kejahatan perang yang sebenarnya.

Proses penyelesain langsung kepada korban romusha sirna sudah. Namun secara seiring waktu ada perkembangan yang mengejutkan sekitar April 1993. Bahwa ada informasi dari Federasi Asosiasi Advokad Jepang (Nichibenden) yang akan melakukan usaha pengumpulan korban invasi Jepang 1942-1945 di Indonesia. Hal itu dilakukan guna kepentingan acara simposium di Jepang mengenai persoalan korban invasi Jepang. Persoalan tersebut mengemuka karena terkait kencangnya persoalan isu budak seks tentara Jepang (jugun ianfu) melalui desakan internasional negara korban lain seperti Korea Selatan dan Taiwan pada waktu itu. Kemudian, diperkuat oleh pernyataan permintaan maaf secara resmi PM. Miazawa pada Rabu 4 Agustus 1993 kepada sekitar 10.000 perempuan yang dipaksa menjadi pelayan seks penghibur tentara Jepang sebelum dan selama berkobarnya PD ke-II. Itulah momentum di mana persoalan ianfu dan romusha menjadi terkuak kembali di Indonesia.
Melalui tokoh monumental Alm. Mardiyem (Momoye) yang mengadukan nasibnya ke LBH Yogyakarta, persoalan romusha ikut mencuat kembali. Setelah Mardiyem melaporkan kisahnya ketika menjadi Ianfu jaman Jepang, banyak surat kabar lokal yang meliput berita ini. Hal itu mendorong salah seorang ex-romusha bernama Amat Karto bin Tohir (83 th) warga Karanggondang, Pendowoharji-Bantul mengadukan nasibnya ke LBH Yogjayakarta yang diterima oleh Humas-nya, Budi Hartono (Kompas, 29 APRIL 1993). Berita itu pun diliput terus oleh media lokal, tak pelak banyak orang yang tahu mengeni persoalan tersebut.

Efeknya tentu saja, banyak berdatangan orang-orang yang mengaku sebagai korban romusha. Korban berbondong-bondong datang untuk mendaftar karena mendengar isu akan ada ganti rugi dari pihak Jepang. Banyak yang berdatangan selama kurun waktu enam bulan tersebut di-screanning kembali oleh LBH Yogjakarta, sehingga ketika bulan September ex- romusha yang berhasil terdata mencapai angka sekira 17.000 orang (berasal dari Jakarta, DIY, dan Jawa Tengah bagian selatan). Sebenarnya masih banyak yang belum terdata, namun YLBHI terganjal segala persiapan untuk keberangkatan termasuk menyiapkan data base korban perang, yang akan diajukan awal Oktober 1993 saat konfrensi di Jepang.

Pendataan tersebut YLBHI merupakan mementum untuk membawa persoalan romusha dan ianfu melalui Konfrensi di Tokyo. Pada konfrensi tersebut YLBHI berencana akan menyampaikan tuntutan, antara lain yaitu: a) Tuntutan ganti rugi kepada korban, b) Permohonan maaf resmi pemerintahan Jepang di publik langsung kepada korban, dan c) Dimasukan persoalan ini dalam kurikulum sekolah atau lembaga pendidikan di Jepang.

Gerakan YLBHI ini rupanya tanpa memperoleh dukungan dari DPR dan pemerintah RI pada waktu itu—hanya sekadar komentar dukungan moral (Kedaulatan Rakyat, Sabtu 22 Mei 1993). Ini membuat YLBHI yang merupakan lembaga swadaya masyarakat (LSM) tidak mendapat dukungan politik penuh, sehingga berjalan sendiri. Ini yang menyebabkan YLBHI “angkat tangan” sehingga tidak mampu memperjuangkan tuntutan tersebut di kancah Internaional di kemudian hari.

Hal itu bukan tanpa musabab, Indonesia sepertinya enggan mendukung kasus tersebut. Faktor utama disinyalir banyaknya nilai investasi Jepang di Indonesia yang membuat khawatir hubungan kedua negara akan terganggu. Alhasil pemerintah Jepang pun  melalui Duta Besar dan Sekertaris Kedubes Jepang di Jakarta, membela diri dengan mengatakan Pemerintah Jepang dalam hal ini menolak tuntutan ganti rugi, pasalnya menganggap masalah yang berkaitan dengan PD ke-II itu sudah diselesaikan melalui perjanjian perjamaian pampasan perang tahun 1958.

Itulah yang mengunci secara politik konteks kekinian bagi pengakuan kembali dan persoalan ganti rugi terkait korban kerja paksa jaman Jepang. Ada aspek yang hilang dalam dukungan gerakan kemanusiaan untuk romusha, antara lain: pertama tidak didukungnya sedari awal gerakan ini secara politik oleh pemerintah karena faktor hubungan ekonomi dan politik dengan Jepang, sehingga tuntutan yang diajukan oleh YLBHI ketika konfrensi Oktober 1993 di Jepang dianggap angin lalu. Kedua, tidak ada lagi gerakan di antara organisasi non-pemerintah (Ngo) atau gerkan kemanusian selain YLBHI yang menyerukan ini di tingkatan nasional. Dan yang Ketiga, terlampau tunduknya Indonesia dengan Perjanjian Pampasan Perang 1958, yang sebenarnya tidak menyentuh penanganan korban secara langsung.  Sehingga, apa lacur data 17.000 jiwa ex-romusha tengelam dan tidak dimanfaatkan kembali dengan baik di tingkat lokal, apatahlagi di kacah internasional. Isu kejahatan Militer Jepang di Indonesia mengenai romusha kian terkubur seiring meninggalnya para korban di dunia ini.

Semoga setiap dari kita dapat memberi sesuai kemampuan dan setiap orang dapat menerima sesuai dengan kebutuhannya...

Penulis : Anugrah Saputra
Peneliti tentang Romusha

Tidak ada komentar:

Posting Komentar