Rabu, 06 Oktober 2010

Info Lengkap Seminar


Dasar Pemikiran

Global Future Institute (GFI) memandang Indonesia sebagai salah satu Negara di kawasan Asia Pasifik, sangat berkepentingan untuk mengingatkan kembali sepak-terjang militer Jepang maupun serangkaian tindak kejahatan perang yang dilakukan dalam kurun waktu antara 1942-1945.

Indonesia bukan satu-satunya negara di kawasan Asia Pasifik yang menderita sebagai korban dari militerisme dan kejahatan perang Jepang. Beberapa negara di kawasan Asia Tenggara lainnya, seperti Malaysia, Singapore, Filipina, Myanmar (Birma), Korea Selatan juga mengalami nasib yang sama. Dan yang tidak kalah penting adalah Republik Rakyat Cina  yang kelak terkenal dengan The Rape of Nanking.
 

Hal itu semua, mendorong GFI untuk menggelar sebuah Seminar Sehari selama sehari dengan menghadirkan berbagai elemen strategis di tanah air--baik dari kalangan pemerintahan, akademisi, lembaga-lembaga swadaya masyarakat, yang menaruh kepedulian dan perhatian yang kritis terhadap peran dan perilaku pemerintahan Fasisme Jepang pada di Asia Pasifik, utamanya Indonesia, pada kurun waktu 1942-1945.

Selain dari itu, GFI juga mengharap partisipasi beberapa kalangan kritis masyarakat dari luar negeri baik dari Asia, Afrika, Amerika Serikat, maupun Eropa Untuk membahas beberapa tema dan isu berkaitan dengan kemungkinan bangkitnya kembali militerisme Jepang di masa depan, seraya mengungkap kembali sepak-terjang fasisme dan militerisme tentara Jepang di kawasan Asia Pasifik.


Beberapa Indikasi Kebangkitan Militerisme Jepang
Beberapa media massa terbitan 28 Juli 2010 lalu, mewartakan bahwa panel para ahli telah merekomendasikan kepada Perdana Menteri Jepang Naoto Kan agar Jepang mengkaji ulang kebijakan pasifisnya. Dan mendesak agar Jepang mengerahkan lebih banyak pasukannya ke wilayah pesisir yang kini sering dilalui angkatan laut Cina. Bukan itu saja. Panel para ahli Pertahanan Jepang itu juga mendesak pemerintah Jepang agar melonggarkan kebijakan tentang transfer senjata nuklir di wilayah negaranya.

Ini tentu saja rekomendasi yang cukup serius karena dengan jelas mengindikasikan bahwa upaya membangkitkan kembali militerisme Jepang sudah pada taraf proses pembuatan dan perumusan kebijakan pertahanan Jepang secara menyeluruh dan mendasar. Jadi, bukan sekadar wacana atau keinginan segelintir politisi atau mantan perwira militer berhaluan ultra kanan Jepang. Namun indikasi kebangkitan kembali militer Jepang sudah harus dilihat dalam kerangka kebijakan revisi kebijakan pertahanan Jepang secara menyeluruh.

Dan panel para ahli tersebut bahkan sudah sampai pada kata sepakat bahwa panduan pertahanan Jepang di era Perang Dingin sudah kadaluwarsa alias ketinggalan zaman. Menurut pandangan panel para ahli, untuk menghadapi semakin meningkatnya ancaman dari  Semenanjung Korea dan Selat Taiwan, Jepang sudah saatnya besiap dan bersiaga untuk menghadapi segala kemungkinan yang terjadi.

Rekomendasi ini bisa diartikan sebagai desakan untuk merubah postur pertahanan Jepang yang tadinya defensif dan cenderung pasifis, menjadi postur pertahanan yang agresif dan bila perlu, kembali ekspansif seperti pada masa Perang Dunia Kedua.

 

Amerika Restui Bangkitnya Kembai Militerisme Jepang 
Adanya pergeseran pandangan yang cukup radikal yang bisa dibaca sebagai tren menuju bangkitnya kembali kekuatan militer Jepang di Asia Pasifik, nampaknya mustahil tanpa adanya dukungan secara diam-diam dari Amerika Serikat, sekutu utama Jepang pasca Perang Dunia Kedua.
 
Sejak Perang Dunia Kedua berakhir, Jepang memang praktis telah menjadi sekutu Amerika dan negara pasifis. Karena Undang-Undang Dasar Jepang melarang adanya angkatan bersenjata di negaranya, maka Jepang praktis mengandalkan Amerika Serikat untuk pertahanan dan penangkalan nuklirnya. Tak heran jika hinggi kini tercatat ada sekitar 47 ribu tentara Amerika Serikat ditempatkan di Jepang.
 
Dilihat dari ini saja, wajar jika kita bercuriga bahwa adanya tren ke arah penguatan kembali angkatan bersenjata Jepang juga atas dukungan diam-diam dari Amerika. Dengan kata lain, adanya pola ancaman baru di kawasan Asia Pasifik, khususnya dengan menguatnya kekuatan angkatan bersenjata Cina di kawasan Asia Pasifik akhir-akhir ini. Maka, Amerika saat ini justru menjadi pihak pendorong utama untuk mengaktifkan kembali kekuatan angkatan bersenjata Jepang secara maksimal, termasuk izin kepemilikan persenjataan nukir yang sepenuhnya berada dalam kendali angkatan bersenjata Jepang.
 
Selain itu, ada indikasi lain yang tak kalah mengkhawatirkan. Pada 2008, seorang pebisnis sayap kanan Jepang Toshio Montoya, menyelenggarakan kontes/lomba penulisan esay tentang Perang Dunia II  dengan tema: "Perspektif Sejarah Modern." Motivasi Jepang untuk menghapus dosa-dosa sejarah dan kejahatan perang pada Perang Dunia II terlihat jelas melalui penyelenggaraan kontes penulisan sejarah ini. Betapa tidak.
 
Dari 235 peserta lomba, 94 di antaranya, merupakan personil Angkatan Udara Bela Diri Jepang (ASDF). Wajar jika memicu kecurigaan para personil  ASDF tersebut mendapat perintah dan arahan dari para komandannya untuk mengirim naskah tulisan ke panitia kontes penulisan, yang temanya segaris dengan misi kontes untuk membersihkan dosa-dosa sejarah Jepang pada Perang Dunia II lalu.
 
Hasil kontes semakin memperkuat kecurigaan, ketika Kepala Staf Angkatan Udara Bela Diri Jepang Toshio Tamogami, memenangi kontes penulisan dengan hadiah sebesar 3 juta yen. Judul tulisan Tamogami sudah jelas menggugat dan membantah peran Jepang sebagai Agresor di Asia Pasifik. Judul tulisannya: Benarkah Jepang Merupakan Bangsa Agresor? 
 
Inilah sekelumit catatan yang pada gilirannya mendorong GFI dan beberapa elemen strategis baik di tanah air maupun luar negeri, untuk menggelar seminar sehar terbatas dengan bertumpu pada dua tema utama: “Mengungkap Kembali Sepak-Terjang Pemerintah Militer Jepang seraya Menyorot kembali dua aspek kejahatan perang Jepang di Asia Pasifik yaitu Ianfu dan Romusha.”
 

Maksud dan Tujuan
  1. Menggalang kembali semangat solidaritas bangsa-bangsa di Asia-Pasifik dengan mengangkat kembali militerisme dan kejahatan perang Jepang semasa Perang Dunia II. 
  2. Dengan mengangkat kembali kemungkinan bangkitnya militerisme Jepang dan mengungkap kembali serangkaian kejahatan perang Jepang di Asia Pasifik, akan menjadi rujukan penting  kita untuk mengkaji persekutuan strategis Amerika Serikat-Jepang baik di masa lalu, kini  maupun di masa depan.
  3. Secara khusus, akan membahas dan merekonstruksi kembali pasang surut hubungan bilateral Indonesia-Jepang sejak pasca kemerdekaan RI 1945.
  4. Secara khusus, Indonesia maupun negara-negara peserta Seminar akan membahas secara mendalam isu Pampasan Perang Jepang dan manfaatnya bagi negara-negara Asia Pasifik korban militerisme dan kejahatan perang Jepang pada Perang Dunia II Utamanya Indonesia.

Waktu dan Tempat Pelaksanaan

Waktu Pelaksanaan:      Senin, 25 Oktober 2010
                                      Pukul 09.00 - 21.00 WIB

Tempat Pelaksanaan:    Hotel Santika, Betawi Room
                                     Jl. Aipda KS. Tubun, Slipi,Jakarta, Indonesia


Materi Seminar
 
I.  Aspek Politik Internasional dari Militerisme Jepang pada Perang Dunia II, dan potensi Kebangkitannya kini dan Mendatang.

Beberapa isu yang menjadi bahasan:
  1. Beberapa indikasi Jepang akan hidupkan kembali doktria Asia Timur Raya ( Greater East Asia Coprosperity Sphere) yang telah dirintis sejak 1930 – 1940 yang menjadi dasar politik imperialisme Jepang di Asia.
  2.  Indikasi kuat Jepang berusaha melepaskan diri dari tanggung jawab atas rangkaian kejahatan perang pada Perang Dunia II.
  3. Jepang berupaya menhapuskan dosa-dosa sejarah pada perang Pasifik 1937-1945, untuk dijadilan legitimasi memperkuat kembali kekuatan militer.
  4. Perlu mengingatkan Jepang bahwa tidak mungkin untuk merubah peran Jepang sebagai agresor menjadi kekuatan pembebas terhadap Negara-negara jajahannya di Asia Pasifik.
  5. Bangsa-bangsa di Asia masih belum melupakan penderitaan akibat penjajahan Jepang sehingga menolak sikap Jepang untuk merevisi peran sejarahnya pada perang pasifik.
Pembicara:  
  1. T.M. Hamzah Thayeb (Dirjen Asia Pasifik dan Afrika Kemenlu RI)
  2. Rahadi Teguh Wiratama (Pakar Sosial Politik LP3S)
  3. Eka Hindra (Peneliti Independen Ianfu Indonesia dan Penulis Buku “Momoye; Mereka Memanggilku”)
  4. Hendrajit (Direktur Global Future Institute)

II. Comfort Women Sejarah Kelam Imperialisme Jepang di Asia Pasifik.  
Pembicara:
  1. Hilde Janssen (Wartawan Algemeen Dagblad)
  2. Maria Hartiningsih (Wartawan Kompas)
  3. Retno Adji Prasetiaju (Asdep Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan ementerian Pemberdayaan Perempuan RI)

III. Romusha dan Biaya Pampasan Perang dalam Perspektif Hubungan Indonesia - Jepang.

Pembicara:
 

  1. Joko Kuntono (Pegiat Sosial Budaya/Direktur Diplomasi Budaya GFI)
  2. Makmur Sanusi, Dirjen Jenderal Rehabilitasi Lanjut Usia, Departemen Sosial (Masih Konfirmasi)
  3. Anugrah Saputra (Peneliti Tentang Romusha)


Engglish Version


65 YEARS OF JAPAN’S CAPITULATION IN THE ASIA-PACIFIC WAR

(Main Theme: (Ianfu) Comfort Women, Romusha, and the Dark History of Japanese Militarism in the Asia-Pacific Region)
Jakarta, 25 October 2010

Background


The Global Future Institute (GFI) will hold one-day seminar to commemorate  the 65th anniversary of  the Japanese surrender in the Asia-Pacific War. At this point, Indonesia as one of countries in the Asia-Pacific region, is very concerned to recall the Japanese military actions and a series of war crimes between 1942 and 1945.

Indonesia was not the only country in the Asia Pacific region that suffered as victim of the Japanese militarism and its war crimes. Several countries in Southeast Asia like Malaysia, Singapore, Philippines, Myanmar (Burma), South Korea also suffered the same fate. And, no less important is the People's Republic of China which is later popular with The Rape of Nanking.

All this has encouraged GFI to hold a one-day seminar  by inviting various domestic strategic elements such as the government, academics, non-governmental organizations, that are really concerned with and pay critical attention to the roles and actions of the Japanese fascist government in the Asia Pacific region, especially Indonesia, during the period 1942-1945.

In addition, GFI also expects participation of critical circles from international community from Asia, Africa, USA, and Europe to take up themes and issues related to the possible resurgence of Japanese militarism in the future by unveiling the actions of Japanese fascism and militarism in the Asia Pacific region.

The Indications of the Resurgence of Japanese Militarism


Some mass media on July 28, 2010 reported that a panel of experts had recommended to the Prime Minister of Japan Naoto Kan in order to review its pacifist policies and urged Japan to mobilize more troops to the coastal areas which have often been entered by Chinese navy. Even, the panel, made up of defense experts and academics, urged the Japanese government to relax rules on nuclear arms transfers in its territory.

The recommendations are apparently quite serious for clearly indicating that attempts aimed at reviving the Japanese militarism have already been in the process of both making and formulating Japanese defense policies comprehensively and fundamentally. So, it is not merely a discourse or willingness of some Japanese ultra-right politicians or military officers. But any indication of the revival of the Japanese militarism should have been taken into account within the framework of revising Japanese defense policies comprehensively.

The Panel even came to an agreement that the Japanese national defense program guideline during the Cold War era had expired and been obsolete. In the view of the panel, to face the increasing threat from the Korean Peninsula and Taiwan Straits, it is time for Japan to stay alert and take a stand against any threat possible to happen.

The recommendations could be considered as pressure to change the Japanese defense posture which was formerly defensive and pacifist into an aggressive defense posture and even expansive like in the World War II era.

America Blesses the Resurgence of Japanese Militarism


The existence of a fairly radical shift which can be considered as a trend towards the resurgence of Japanese military strength in Asia Pacific seems impossible without tracing the tacit support from the U.S., Japan’s key ally in the post-World War II.

Since the end of the World War II, Japan has practically become an important U.S. ally and pacifist nation. As the Japanese Constitution prohibits the possessing of any armed force, Japan has practically relied on the U.S. in regard with its nuclear defense and prevention. Not surprisingly if up to now there have been some 47.000 U.S. troops stationed in Japan.

Looking at the scene, it is reasonable if we are suspicious of a trend leading to the re-strengthening of Japanese armed forces secretly supported by America. In other words, there have been new modes of threat in Asia-Pacific, especially in regard with the strengthening of Chinese armed forces in the region recently. It is understandable if America has now really supported Japan in maximally re-activating its armed forces including permitting the possession of nuclear weapons which are fully under the control of the Japanese armed forces.

In addition, there seems to be another worrying indication. In 2008, a Japan’s right-wing businessman Toshio Montoya held an essay writing contest on World War II with the theme: True Modern Historical Perspectives. The Japan’s motivation to erase its historical sins and war crimes during the World War II era could clearly be seen from the history writing contest. Here is the fact.

From some 235 participants in the contest, 94 were from the Air Self-Defense Force (ASDF). It is once again understandable if the contest fueled suspicion that the ASDF personnel were likely ordered and instructed by their commanders to author and submit essays on the political theme to the organizing committee of the contest which has the same mission to erase the Japanese historical sins during the World War II era.

The result of the contest increasingly fueled suspicion when the ASDF chief of staff Toshio Tamogami won the top prize of 3 million yen in the competition. The title of the Tamogami’s essay clearly denied Japanese aggression against Asia-Pacific nations before and during World War II. His essay entitled: Was Japan an Aggressor Nation?

The statements above have in turn encouraged GFI and other strategic elements from within and outside the country to hold a one-day international conference by focusing more on two main issues; “Unveiling the actions of Japanese military government and examining two Japanese war crimes in Asia-Pacific, namely Comfort Women and Romusha.”

AIMS AND PURPOSES

  1. Promoting the spirit and solidarity of Asia-Pacific solidarity and nations by taking up issues on Japanese militarism and war crimes during the World War II era. 
  2. By taking up issues of Japanese militarism and unveiling a series of Japanese war crimes in Asia Pacific, we will expectedly have important references in dealing with the strategic alliance between the U.S. and Japan in the past, present and future.
  3. Specifically, the conference will discuss and reconstruct uncertain Indonesia-Japan relationships since the RI’s independence in 1945.
  4. Specifically, Indonesia and other countries participating in the conference will discuss issues in regard with the Japanese war loot and its benefits for Asia Pacific nations, the victim of Japanese militarism and war crimes during the World War II era.

TIME AND VENUE
Time:  Monday, October 25th, 2010
          09.00 - 21.00 local time

Venue:  Santika Hotel
           Jl. Aipda KS. Tubun. Slipi
           Jakarta, Indonesia


Some issues that will be discussed:
  1. Indications of Japan in reviving the Greater East Asia Coprosperity Sphere planned since 1930-1940 which became a political foundation of Japan's imperialism in Asia.
  2. Strong indications of Japan for apparently willing to evade responsibility over a series of war crimes during the World War II.
  3. Japan has attempted to erase historical sins during the 1937-1945 Pacific War to be used as a legitimacy to re-strengthen its military power.
  4. To warn Japan that it is impossible to change the Japan's role as aggressor into a liberating power against its colonies in Asia Pacific.
  5. Nations in Asia have still remembered their pain and suffering as a result of Japanese colonialism so that they will reject Japan from any attempt to revise its historical role in the Pacific war.
Speakers:
  1. T.M. Hamzah Thayeb (Director General for Asia-Pacific and African Affairs, Department of Foreign Affairs)
  2. Rahadi Teguh Wiratama (social and political expert of LP3S)
  3. Eka Hindra (An Independent Researcher on Ianfu Indonesia and the author of "Momoye: Mereka Memanggilku")
  4. Hendrajit (Executive Director of Global Future Institute)


II. Comfort Women the Dark History of Japanese Imperialism in Asia Pacific
Speakers
   1. Hilde Janssen (Algemen Dagblad journalist)
   2. Maria Hartiningsih (Kompas journalist)
   3. Retno Adji Prasetiaju (Official in the Ministry of Women Empowerment)


III. Cost of War Reparation in the perspective of Indonesia-Japan Relations

Speakers:

  1. Joko Kuntono (Director of Cultural Diplomacy of GFI)
  2. Makmur Sanusi (Director General of Rehabilitation of the Elderly, Deprtment for Social Affairs)
  3. Anugrah Saputra (Researcher of Romusha)


    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar